Zakat Untuk Produk Istishna’ (Manufaktur)



Zakat Untuk Produk Istishna’ (Manufaktur)

ZAKAT UNTUK PRODUK ISTISHNA’ (MANUFAKTUR)


Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi


Zakat Untuk Produk Istishna’ (Manufaktur)


Tanya :

Ustadz, bagaimanakah zakat perdagangan bila bentuk bisnisnya produk istishna’? Misal, ada orang yang punya pabrik obat herbal yang mengubah bahan-bahan herbal menjadi obat herbal. Atau orang yang yang mempunyai pabrik yang mengolah buah-buahan menjadi minuman jus yang dikemas dalam botol. Atau orang yang mempunyai pabrik busana (konveksi) yang mengubah bahan kain (tekstil) menjadi baju jadi (siap pakai). Atau misalnya orang yang punya karoseri yang melayani pembuatan body mobil sesuai dengan kebutuhan di atas chasis atau kerangka dasar mobil yang sudah ada (sebagai bahan dasar), menjadi bus, truk, mobil, dan sebagainya yang siap pakai on the road? (Firli, Yogyakarta)


Jawab :

Dalam istilah kontemporer, zakat yang ditanyakan di atas disebut dengan istilah zakāt al-mashāni’ atau zakat al-mustaghallāt yang berarti zakat pabrik (Eng : factory zakat). Di sini kita perlu mengetahui definisi pabrik terlebih dahulu. Yang disebut dengan pabrik (Arab : al-mashāni’; Eng : factory) definisinya adalah :


المَصانِعُ هِيَ الْمُنْشَآتُ اَلَّتِي يَتِمُّ بِهَا تَحْوِيْلُ الْمَوادِّ الْأَوَّليَّةِ إِلىَ مَصْنُوْعاَتٍ ( مُنْتَجاَتٍ نِهاَئِيَّةٍ)


“Pabrik adalah fasilitas di mana bahan mentah diubah menjadi manufaktur (produk akhir).” (Abdullah Manshur Al-Ghufaili, Nawāzil Al-Zakāt, hlm. 127).


Para ulama berbeda pendapat (ada khilāfiyah) mengenai zakat pabrik ini, apakah yang terkena kewajiban zakat adalah peralatan pabrik dan sekaligus hasil akhirnya (output berupa produk), ataukah hanya hasil akhirnya saja. Syekh Abdullah Manshur Al-Ghufaili dalam kitabnya Nawāzil Al-Zakāt menyebutkan ada 3 (tiga) pendapat ulama dalam masalah ini, sebagai berikut :


Pertama, yang dizakati hanyalah produk akhirnya saja (disebut al-ghallah), setelah produk akhir ini mencapai nishab dan berlalu haul (dimiliki dalam satu tahun hijriyah). Sedangkan segala peralatan pabrik (yang disebut dengan istilah al-mustaghallāt), tidak terkena kewajiban zakat. Ini adalah pendapat Imam Syaukani (Al-Badru Al-Thāli’, 2/214), Shadiq Hasan Khan (Al-Rawdhat Al-Nadiyyah, 1/94), dan pendapat Majma’ Al-Fiqh Al-Islāmiy (Lihat Majallat Majma’ Al-Fiqh Al-Islāmiy, Edisi II, Juz I, hlm. 197).


Dalil pendapat pertama ini adalah pendapat jumhur ulama (dari ulama Hanafiyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah) bahwa harta yang disiapkan untuk disewakan (ijārah), misalkan rumah atau mobil yang disewakan, tidak ada zakat untuk rumahnya atau mobilnya itu sendiri. Zakatnya baru dikenakan untuk uang yang dihasilkan dari akad sewa (ijārah) dari rumah atau mobil tersebut, setelah memenuhi syarat nishab dan haul.


Kedua, yang dizakati adalah produk akhir (al-ghallah) dan juga sekaligus peralatan pabriknya (al-mustaghallāt). Ini adalah pendapat Dr. Rafiq Yunus Al-Mashri (_Buhūts Al-Zakāt, hlm. 115) dan Dr. Mundzir Qahaf (Zakāt Al-Ushūl Al-Istitsmāriyah, hlm. 386). Zakat dikeluarkan sebanyak 2,5% dari nilai peralatan pabrik dan produk akhirnya, setelah memenuhi syarat nishab dan haul.


Dalil pendapat ini adalah pendapat yang dinisbatkan kepada Ibnu ‘Uqail Al-Hanbali bahwa rumah yang disewakan, terkena kewajiban zakat.


Ketiga, yang dizakati adalah produk akhir (al-ghallah) dengan cara berzakat yang mengikuti zakat pertanian dan buah-buahan (zakāt al-zurū’ wa al-tsimār). Jadi, yang wajib dizakati adalah produk akhirnya saja, tidak ada zakat untuk peralatan pabriknya. Zakat untuk produk akhir menurut pendapat ini besarnya bisa jadi 5% atau 10%, seperti halnya zakat pertanian. Ini pendapat Syekh Abdul Wahhab Khallaf, Syekh ‘Abdurrahaman Al-Hasani, Dr. Mushthofa Az-Zarqa`, dan Syekh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi (Fiqh Al-Zakat, 1/512).


Dalil pendapat ketiga ini adalah qiyas antara zakat untuk pabrik dan hasil akhirnya, dengan zakat pertanian. (Lihat : Abdullah Manshur Al-Ghufaili, Nawāzil Al-Zakāt, hlm. 127-130).


Pendapat yang rājih (lebih kuat dalilnya), sebagaimana pentarjihan Syekh Dr. Abdullah Manshur Al-Ghufaili, adalah pendapat pertama, yaitu yang dizakati hanyalah produk akhirnya saja (al-ghallah), setelah produk akhir ini mencapai nishab dan berlalu haul (dimiliki dalam satu tahun hijriyah). Sedangkan segala peralatan pabrik (al-mustaghallāt), tidak terkena kewajiban zakat.


Menurut Syekh Dr. Abdullah Manshur Al-Ghufaili, pendapat pertama diambil karena tidak ada dalil yang mewajibkan zakat pada peralatan pabrik, padahal zakat itu tidak boleh diambil dari harta milik manusia, kecuali ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Yang ada dalilnya hanyalah dalil yang mewajibkan zakat untuk hasil akhir, dengan dua syarat, yaitu : (1) hasil akhir ini telah mencapai nishab untuk zakat perdagangan, dan (2) telah berlalu hasil akhir tersebut dalam jangka waktu satu tahun hijriyah (sudah haul). (Abdullah Manshur Al-Ghufaili, Nawāzil Al-Zakāt, hlm. 127-137). Wallāhu a’lam.


Jombang, 2 April 2024/23 Ramadhan 1445


Muhammad Shiddiq Al-Jawi

Lebih baru Lebih lama