Sharing Tentang Dzulhijjah dan Hari Raya Idul Adha


Sharing tentang Dzulhijjah dan Hari Raya

Ustadz Yuana Ryan Tresna




Sharing Tentang Dzulhijjah dan Hari Raya



Berikut adalah catatan saya terkait penetapan 1 Dzulhijjah:


Pertama, kalau kita membaca kitab-kitab fikih, atau cukup catatan singkat Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, dari sisi fikih, penentuan Dzulhijjah ini memang ikhtilaf muktabar sejak dulu. Tidak ada ijmak (kesepakatan) ulama dalam perkara ini. Ini kitabnya:


أحكام الاختلاف في رؤية هلال ذي الحجة


Silahkan unduh: https://archive.org/details/waq52001/page/n16/mode/1up


Kedua, adapun terkait Puasa Arafah, maka itu adalah masalah cabang dari masalah pokoknya, yaitu penetapan bulan Dzulhijjah. Ini kembali pada bahasan rukyat lokal atau global, sebagaimana halnya Idul Fitri. Para ulama juga berbeda pendapat apakah Puasa Arafah terkait dengan waktu, tempat, pelaksanaan wukuf, atau ketiganya sekaligus. Saya mengambil pendapat bahwa Puasa Arafah terkait ketiganya sekaligus (waktu, tempat dan pelaksanaan wukuf). Basis pendapat ini bisa kita jumpai dalam sebagian pendapat ulama.


Ketiga, kami sendiri mengadopsi bahwa penetapan Dzulhijjah merujuk pada putusan penguasa Makkah karena terkait manasik haji. Saya memandang ini pendapat terkuat dilihat dari sisi manapun, baik dari sisi dalil, kesatuan dengan manasik haji, maupun visi persatuan umat. Dalilnya adalah hadits otoritas Amir Makkah dalam manasik haji sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Daud No. 2338.


Keempat, pendapat kami ini selaras dengan kesimpulan hukum Darul Ifta Mesir. Namun dalil yang digunakan berbeda. Mereka berdalil dengan riwayat imam Daraquthni bahwa Rasulullah bersabda, "Haji itu ketika orang-orang berhaji", dan QS. Al Baqarah ayat 199. Sebenarnya pendapat ini (mengaitkan penetapan Dzulhijjah dengan manasik haji) lebih mudah diterima karena artinya mengamalkan semua dalil tanpa menelantarkan sebagiannya, dan mengaitkan dengan manasik haji yang merupakan inti dari Hari Raya Idul Adha.


Kelima, ijtihad yang berdalil dengan hadits Amir Makkah termasuk terobosan dan tidak banyak dijumpai dalam kitab-kitab ulama madzhab yang menggunakan hadits tersebut. Hadits tersebut tidak secara tekstual menyatakan keharusan seluruh umat Islam untuk merujuk putusan rukyat Amir Makkah. Namun hadits tersebut mengandung penunjukkan (dalalah) bahwa Amir Makkah memiliki otoritas dalam pelaksanaan manasik haji, sekaligus sebagai sandaran umat Islam lainnya dalam kesatuan berhari raya (penetapan Arafah dan Idul Adha).


Keenam, penetapan Dzulhijjah yang merujuk pada manasik haji ini adalah cabang dari bahasa rukyat hilal secara global. Jadi narasinya bukan menyerahkan rukyat pada penduduk Makkah (yang artinya rukyat lokal), melainkan menyerahkan pada putusan Amir Makkah (bahasan rukyat global). Ini dua perkara yang berbeda. Ini masalah itsbat dan otoritas. Sebagaimana hadits, "bahwa hari Arafah itu adalah hari yang telah ditetapkan oleh Imam, dan hari berkurban itu adalah saat Imam menyembelih kurban.” (HR. Thabrani dalam kitab al-Ausath)


Ketujuh, adapun yang terjadi hari ini di negeri-negeri muslim, masalahnya lebih memprihatinkan, karena basisnya bukan dalil atau qaul muktamad, melainkan tegak di atas paham nasionalisme dan dalam kerangka negara bangsa. Jadi bukan soal ikhtilaful mathali, tapi perbedaan wilayatul hukmi dengan batas-batas imajiner nation state. Pada konteks inilah kita membutuhkan kepemimpinan tunggal dan kesatuan umat.


Kedelapan, menyikapi perbedaan ini harus tepat dan akurat berdasarkan argumentasi. Karena ada wilayah yang memang ikhtilaf muktabar, dan ada wilayah politik kontemporer terkait sekat negara bangsa. Fokusnya adalah menjelaskan dalil yang diyakini lebih kuat dan kritik atas nation state sebagai landasan baru dalam diskursus perbedaan mathla. Jadi komentar singkat yang isinya hanya nyinyiran, cemoohan, hujatan, dan klaim tanpa bukti, tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali menambah permusuhan.


Semoga bermanfaat.


Kairo, 1 Dzulhijjah 1445 H

Yuana Ryan Tresna

Lebih baru Lebih lama