Ringkasan Seputar Perbuatan Manusia Dalam Bahasan Qodho-Qodar
Oleh : Ustadz Azizi Fathoni
Bagaimanakah "teknis" Alloh menciptakan perbuatan manusia, di titik inilah banyak kaum mutakallimin tergelincir membahasnya.
PENDAPAT MUKTAZILAH
Muktazilah menganggap manusia menciptakan perbuatannya sendiri, dan Alloh tidak punya andil di dalamnya. Maksudnya sih baik, yaitu demi "menjaga" sifat kemahaadilan Alloh, sehingga yang dihisab di akhirat nanti adalah murni perbuatan manusia ciptaan manusia, bukan perbuatan manusia ciptaan Alloh.
Karena menurut mereka: tidak adil kiranya kalau manusia dihisab dan mempertanggungjawabkan perbuatan yang Alloh ciptakan, bukan yang manusia sendiri ciptakan. Jelas pendapat ini bertentangan dengan ayat yang menyebutkan bahwa Alloh yang menciptakan manusia dan sekaligus juga perbuatannya.
PENDAPAT JABARIYAH
Jabariyah menganggap hanya ada qudrah (kuasa) dan iradah (kehendak) Alloh saja yang menjadikan perbuatan manusia itu terjadi. Manusia mutlak hanya ikut seperti wayang. Tidak punya kuasa dan kehendak sendiri.
Tidak ada perbuatan yang sifatnya ikhtiyariyah (pilihan). Artinya perbuatan manusia itu terjadi oleh Alloh saja tanpa peran dan usaha manusia sedikitpun. Dan manusia akan dihisab dan mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan yang Alloh pilihkan baginya, bukan pilihan manusia itu sendiri.
Ini bertentangan dengan sifat adil Alloh karena berarti manusia tidak mempertanggungjawabkan perbuatan yang dikehendakinya sendiri melainkan mempertanggungjawabkan perbuatan yang dikehendaki oleh Alloh.
PENDAPAT ASY'ARIYAH
Lantas, Asy'ariyah ingin menengahi dua kutub berbeda tersebut. Dengan mengatakan bahwa Alloh punya kuasa dan kehendak, dan manusia juga punya kuasa dan kehendak. Namun perbuatan manusia itu terjadi semata-mata adalah atas kuasa dan kehendak Alloh saja, tanpa dipengaruhi oleh kuasa dan kehendak manusia sedikitpun.
Lantas bagaimana peran kuasa dan kehendak manusia? Memang diakui keberadaanya, tapi tidak ada pengaruh sedikitpun atas terjadinya perbuatan manusia.
Jadi perbuatan ikhtiyariyah manusia menurut mereka baik amal shalih maupun maksiat semuanya terjadi murni atas kuasa dan kehendak Alloh saja, sedangkan kuasa dan kehendak manusia atas perbuatan tersebut bersifat mengikuti, tidak mempengaruhi.
Sehingga bisa dikatakan manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang sudah ditetapkan dan dikehendaki oleh Alloh sendiri. Sama persis dengan jabariyah, bedanya hanya asy'ariyah mengakui adanya kuasa dan kehendak manusia, meski sekali lagi itu tidak ada pengaruhnya atas perbuatan yang terjadi.
Kerancuan akan tampak misalnya jika seseorang pencuri ditanya: benarkah anda melakukan tindakan pencurian? Maka dijawabnya "pencurian ini terjadi atas kuasa dan kehendak Alloh saja, saya sebenarnya juga punya kuasa dan berkehendak, hanya saja kuasa dan kehendak saya sedikitpun tidak berpengaruh (menyebabkan saya melakukan pencurian tersebut). Jadi, pencurian ini kelihatannya saja saya yang melakukan, tapi sebenarnya itu murni oleh kuasa dan kehendak Alloh saja, bukan oleh kuasa dan kehendak saya. Dimana saya tidak mungkin menolaknya." Anda tetap dihukum! (???)
Artinya manusia juga seperti wayang, meski punya kuasa dan kehendak, tetap tidak bisa berbuat apa-apa menurut kemauannya. Semua perbuatannya total 100% oleh kuasa dan kehendak Alloh saja.
PENDAPAT PENDIRI HIZBUT TAHRIR
Asy-Syaikh Taqiyuddin An Nabhani --rahimahuLLaah-- kemudian hadir mengajak kaum muslim agar keluar dari kerancuan-kerancuan di atas dengan keluar dari perdebatan yang sarat dengan asumsi-asumsi di luar jangkauan akal.
Beliau menawarkan, memahami perbuatan manusia itu hendaknya dari tinjauan pahala dan dosa. Bukan membahas siapa yang menciptakan perbuatan manusia, apa yang menjadi ilmu Alloh, dan apa yang tertulis di lauhil mahfuzh.
Porsi pembahasan akal hanya apa yang dapat diindera oleh panca indera saja. Maka menurut fakta perbuatan manusia yang bisa diindera, ada perbuatan manusia yang sifatnya pilihan dan ada yang sifatnya "memaksa" alias bukan pilihan. Manusia dihisab menurut perbuatan yang sifatnya pilihan saja, dan di situlah wilayah pahala dan dosa. Sedangkan perbuatan yang bersifat memaksa, maka tidak berlaku di dalamnya pahala dan dosa.
Adapun benda-benda dan khasiatnya, semuanya adalah ciptaan Alloh. Dan perbuatan manusia secara inderawi adalah bagaimana manusia memanfaatkan khasiat benda-benda tersebut. Tanpa lebih lanjut membahas "teknis" Alloh menciptakan perbuatan manusia tersebut, karena itu perkara ghaib yang "cara kerjanya" tidak dapat dijangkau oleh akal manusia.
Misalnya saat mengatakan api memiliki khashiyat membakar, hal tersebut adalah memang musyahad (fakta yang bisa diindera). Adapun teknisnya, apa melalui quwah muda'ah (kekuatan yang dititipkan pada api) ala muktazilah, ataukah Alloh menciptakan keterbakaran setiap kali api dinyalakan ala Asy'ariyah, itu di luar kemampuan akal untuk mengetahuinya.
Cukup meyakini, Alloh manciptakan perbuatan manusia dengan menciptakan benda-benda beserta khasiyatnya, manusia dihisab menurut perbuatan yang sifatnya pilihan saja, sedangkan perbuatan yang sifatnya memaksa tidak dihisab. Sesimpel itu.
Begitulah harusnya pembahasan ini dilalui. Yaitu dengan tidak memberikan kepada akal kebebasan membahas apa saja; mencukupkan pembahasan terhadap apa yang dapat diindera saja, sedangkan yang tidak diindera cukup menerima menurut yang tercantum dalam nash; tidak mengqiyaskan perkara yang ghaib dengan yang syahid.
والله أعلم بالصواب